TIMES GORONTALO, BANJAR – Dr. (HC) Aan Alamsyah,S.Pd.I.,S.T.,M.Pd selaku Dosen STIT Muhammadiyah Kota Banjar melontarkan kritik pedas terkait sanksi penurunan pangkat yang diterima NK, oknum Kepala OPD di Pemkot Banjar yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan iuran Diklatpim senilai Rp125.338.000.
Menurut Aan, hukuman tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen pemerintah dalam mewujudkan "pemerintahan bersih".
"Bagaimana masyarakat bisa percaya pada janji 'pemerintahan bersih' kalau kepala OPD yang menyalahgunakan iuran Diklatpim dan mencoreng nama baik Kota Banjar hanya dihukum dengan penurunan pangkat?" ujar Aan Alamsyah, Minggu (28/9/2025).
Sanksi Dianggap Kurang Tegas
Aan menilai hukuman penurunan pangkat terasa seperti teguran basa-basi bagi NK yang telah menyalahgunakan wewenang dan terkesan ringan bagi seorang pejabat yang seharusnya menjadi teladan.
"Seorang pejabat yang seharusnya jadi teladan malah menyalahgunakan wewenang, tapi hukumannya terasa seperti 'teguran basa-basi'. Sementara rakyat kecil, terlambat bayar iuran atau retribusi saja bisa langsung ditindak tanpa ampun. Di mana letak keadilan itu?" kritiknya.
Ia menekankan bahwa penanganan kasus seperti ini secara setengah hati dapat memperparah erosi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
"Kalau kasus seperti ini hanya ditangani setengah hati, jangan salahkan rakyat ketika kepercayaan terhadap pemerintah makin runtuh. Integritas tidak bisa dibangun dengan kompromi," tegas Aan.
Aan Alamsyah juga menyoroti bahwa Kota Banjar membutuhkan pemimpin yang berani bersih, bukan pejabat yang dibiarkan aman meskipun telah melukai kepercayaan publik. "Kota Banjar butuh pemimpin yang berani bersih, bukan pejabat yang dibiarkan aman meski melukai kepercayaan publik," ujarnya.
Kasus NK ini menjadi sorotan publik, mengingat sanksi penurunan pangkat selama setahun dan kewajiban mengembalikan uang negara senilai Rp24.445.000 dianggap tidak seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan.
Kasus Kepala Puskesmas II
Selain sanksi untuk NK, Aan juga menyoroti absennya sanksi terhadap Kepala Puskesmas Banjar 2 dari Dinas Kesehatan maupun Wali Kota Banjar, meskipun masyarakat sudah mendesak pencopotan jabatan tersebut.
"Lebih ironis lagi, tak ada sanksi dari Kadis maupun Wali Kota. Apakah nyawa rakyat begitu murah di mata penguasa?" kritiknya dengan nada keras.
Insiden penolakan ambulans oleh Puskesmas Banjar 2 terhadap Dede (65), warga Desa Neglasari, yang mengalami pingsan dan kejang-kejang usai mengikuti pelayanan Disdukcapil dinilainya merupakan kegagalan besar dalam menjalankan fungsi dasar pelayanan kesehatan.
"Ambulans seharusnya jadi penyelamat nyawa, bukan jadi 'barang mewah' yang ditolak saat warga kritis. Bagaimana bisa seorang kepala puskesmas Banjar 2 menutup mata di saat detik-detik kehidupan seseorang dipertaruhkan?" ujar Aan Alamsyah.
Ia mempertanyakan moralitas dan tanggung jawab seorang pemimpin kesehatan yang seharusnya mengutamakan keselamatan pasien.
Aan menekankan bahwa diamnya pihak berwenang atas insiden ini sama saja dengan melukai hati warga Banjar. "Jangan biarkan kemanusiaan kalah oleh birokrasi. Diam sama saja dengan ikut melukai hati warga Banjar," tegas Aan.
Menurut Aan, tindakan Puskesmas Banjar 2 mencederai prinsip dasar pelayanan publik yang mengutamakan hak hidup dan keselamatan warga sehingga layak di copot dari jabatannya. UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan jelas melarang penolakan pasien gawat darurat dengan alasan apapun, termasuk urusan administratif.
Reaksi Keras Masyarakat
Masyarakat Kota Banjar sendiri telah menunjukkan reaksi keras, mendesak pertanggungjawaban dan evaluasi serius atas kejadian ini. Aan Alamsyah berharap momentum ini menjadi titik balik bagi Pemkot untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan akuntabilitas dalam pelayanan publik.
Insiden ini juga memicu pertanyaan besar tentang komitmen pemerintah dalam melindungi hak dasar warga, terutama dalam situasi darurat yang membutuhkan respons cepat dan tanggap.
Wali Kota Banjar, Sudarsono sebelumnya telah menegaskan bahwa proses penegakan disiplin dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel, namun kritik seperti yang disampaikan Aan Alamsyah menunjukkan masih adanya skeptisisme masyarakat.
Penanganan kasus ini diharapkan menjadi momentum evaluasi bagi Pemerintah Kota Banjar dalam menegakkan integritas dan akuntabilitas aparatur sipil negara (ASN), serta menjawab harapan masyarakat akan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Akademisi Menganggap Sanksi Pejabat di Kota Banjar Melukai Kepercayaan Publik
Pewarta | : Sussie |
Editor | : Ronny Wicaksono |